Penjajahan Modern, RI Dipaksa Ekspor Nikel

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap adanya penjajahan bentuk baru, kalau dulu ada kerja paksa dan tanam paksa, sekarang adanya yaitu ekspor paksa nikel. Kondisi ini mirip dengan yang terjadi saat kolonialisme Belanda sebelum Indonesia merdeka. Kok Bisa?

Sebelum masuk lebih jauh, kita kenali dulu, apa itu nikel?

Indonesia punya 30% cadangan nikel dunia atau sekitar 21 juta ton nikel. Nikel bisa dibuat sebagai campuran bahan baku industri seperti peralatan tambang, peralatan produksi dengan campuran baja dan besi agar lebih kuat tetapi tidak getas. Bisa juga digunakan sebagai bahan 3D printing,dan bisa digunakan sebagai baterai kendaraan listik. Dan kebutuhan ini sangat diperlukan dimasa depan, karena berdasarkan data dari kementrian investasi pada tahun 2019 saja terdapat lebih dari 3 juta unit kendaraan listrik di pasar kendaraan listrik global  dan akan naik lagi hampir 27 juta pada tahun 2030. Dan bahkan sampai ada insentif bagi pengguna mobil listrik juga

Pertama bebas aturan ganjil genap

Kedua bebas dari pajak kendaraan

Ketiga bea balik nama maksimal 2,5% dan mendapat diskon mengisi daya sebesar 30% bila mengisi daya pada jam 10 malam sampai 5 pagi. Dan motor listrik bahkan sampai di subsidi sampai 6,5 juta.

Sebenarnya begitu besar poteni nikel ini, sampai Indonesia di paksa untuk ekspor nikel. Tapi sayangnya, walaupun Indonesia memiliki banyak sekali nikel, Indonesia belum bisa secara maksimal mengolah nikel menjadi barang jadi. Dan yang dilakukan dari dulu adalah ekspor nikel mentah.

Ironinya, Indonesia ekspor nikel mentah, kemudian diolah oleh negara lain, dan kita sendiri yang beli barang jadi tersebut.. dan parahnya, perkiraan pendapatan apabila negara Indonesia mengolah sendiri nikel sampai barang jadi itu isa melonjak 20 kali lipat atau sekitar 100 miliar US Dollar.

Penjajahan bentuk baru yang dimaksud Bapak Jokowi dalam hal ini adalah ekspor paksa menyangkut gugatan larangan ekspor nikel di World Trade Organization (WTO). Diketahui, baru-baru ini Indonesia kalah atas gugatan tersebut.

Tak gentar dengan kekalahan tersebut, Bapak Presiden mengintruksikan kepada para Menteri untuk mengajukan banding dan kembali melawan gugatan WTO pada tahun 2019 dan baru direspon 3 tahun setelahnya.. Perlawanan dengan mengajukan banding seperti ini dilakukan Bapak Jokowi digunakan untuk menyelamatkan Indonesia, karena apabila tidak melawan, maka visi Indonesia dalam membangun ekosistem besar dari industry baterai kendaraan listrik tidak akan terwujud. Apalagi, Indonesia sudah memiliki hampir seluruh bahan baku baterai seperti nikel, timah, tembaga, dan bauksit, yang kurang hanya lithium.

Sedangkan untuk lithium, Jokowi mengatakan, beliau sempat berkoordinasi dengan Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese untuk melakukan kesepakatan pembelian. Namun ternyata, di sana pun sudah ada tambang milik orang Indonesia.

Dengan tersedianya seluruh bahan baku, menurutnya, tantangan selanjutnya ialah bagaimana cara menyatukan ekosistem tersebut, mengingat sumber-sumber mineral itu terletak di daerah-daerah berbeda. Jokowi sangat yakin, ekosistem inilah yang mampu membawa Indonesia menuju ke peradaban negara maju.

Disisi lain, apabila Indonesia stop ekspor nikel, maka ada beberapa kemungkinan

Pertama, banyak pekerjaan yang memproses nikel ini menjadi hilang.

Kedua, banyak bisnis yang terkena dampak dari pemberhentian ekspor ini kalau tidak ada bahan mentah.

Tapi kenapa, kan itu juga bahan mentah kita sendiri. Nah problemnya adalah Indonesia ini memang kaya dengan sumber daya alam, tapi kurang dalam sumber daya manusianya.

Pertanyaannya adalah kenapa Indonesia bisa kalah di WTO?

Kabar kekalahan dari WTO sebelumnya disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Ia mengatakan, Indonesia dinyatakan terbukti melanggar ketentuan WTO. Berdasarkan Keputusan final panel WTO di atas perkara larangan ekspor Indonesia yang disebut dalam sengketa DS 192 WTO memutuskan bahwa kebijakan pelarangan ekspor dan kewajiban dan pengolahan pemurnian mineral di dalam negeri terbukti melanggar ketentuan WTO,
Namun, Bapak Arifin juga masih menilai bahwa terdapat peluang untuk banding terkait dengan larangan ekspor nikel kepada WTO. Pemerintah Indonesia juga beranggapan tidak perlu ada perubahan peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai tersebut sebelum ada keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB). Bapak Jokowi pun mengatakan bila kita masih kalah, maka banding lagi dan lagi. Karena Indonesia sendiri juga mempunyai visi untuk memajukan industry pernikelan menjadi batrai listrik.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk Indonesia?

Kita harus saling support dan memiliki rasa nasionalisme dan solidaritas negara untuk bisa mengolah SDA sendiri, karena faktor suatu negara bisa maju adalah selain kaya di SDA, kita juga harus kompeten dalam SDM nya. Karena banyak hal yang dibutuhkan dunia itu ada di Indonesia. Sisi inilah yang merupakan big values dari Indonesia.

Kita harus berpikir growth mindset, mau belajar, berpikir berkembang dan selalu berinovasi atau bahkan menjadi entrepreneur muda di semua bidang, tidak hanya nikel. Dengan begitu, kita bisa punya banyak pendapatan, membuka lapangan pekerjaan yang bisa membantu mempercepat Indonesia menjadi negara maju.